Summary: |
ABSTRAK
Pasca tunrbangnva rejirn otoriter Orde Baru, beberapa kiai terpilih menjadi
pemimpin politik (elective-executive political leader) atau pemain politik Qnliticul
player) yang memiliki posisi tawar yang kuat dalam proses politik. Hal rtu antara lain
tercermin pada posisi kiai sebagai presiden ataupun wakil bupati. Fakta itu menank
untuk dikaji karena pada era Orde Baru kiai telah tersingkir dari politik.
Penelitian dilakukan dengan empat tujuan. Pertama, menjelaskan proses
perluasan posisi kiai dari sekedar perantara budaya (cttltural-hrokar) yang
terpinggirkan s'Jcara politik, rnenjadi sekaligus pemain politik(polrtical-pluyer) yang
merniliki peran determinan dalarn formulasi dan eksekusi kepr-rtusan politik dr era
transisi demokrasi Kedua, mencoba mengidentifikasi kondisi-kondisi apa yang
memfasilitasi kiai melakukan gerakan sosial. Ketiga, mengkaji proses berbagai
determinants of collective action (faktor penentu yang membentuk aksi kolektif)
saling berhubungan, saling mempengaruhi, serta saling melengkapi sehingga teriadi
perilaku kolektif berupa gerakan kiai. Keempat, mengka.;i makna dan irnplikasi
teoritik hasii penelitian ini terhadap kajian sosiologr politik., khusr-rsnya kaiian
mengenai teori perubahan dan gerakan sosial-politik.
Berbagai penjeiasan pada penelitian ini banyak terkait dengan penjelasan
mengenai gerakan kiai memanfaatkan peluang momentum perubahan dan
keterbukaan partisipasi politik untr.ik memperkuat posisi politiknya. Hal itur antara
lain tercermin dalarn kajian Sidney Tanow (1994), Charles Tilly(197s), dan John
Markoff(1996). Pada kajian tersebut ditemukan adalah adanya pola-pola tertentu
(terjadi berulang-ulang) dan hubungan sebab akibat antara kecenderungan sosial di
tingkat makro dengan kemunculan berbagai gerakan sosial di tingkat mikro.
Kiar yang rnenjadi pusat perhatian penelitian ini adalah krai yang mernilikr
akses kekuasaan politik dan terjun ke gelanggang politik praktis bahkan kernudian
mencapai posisi strategis dalam politik lokal Kiai dinyatakan memiliki akses politik
apabila rnenjadi: (1) pemirnpin politik (elective politicul leader); (2) pengurus
partai politik; (3) kelompok kepentingan (interest grup). Penelitian ini difokuskan
pada tiga tipologi kiai yaitu Kiai Tarekat, Kiai Pesantren dan Kiai Langgar.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kiai di era pasca Orde Baru rnenladi
pemimpin politik (elective political leader) atau pemain politik Qtotiticul-player)
yang detenninan dalam proses formulasi dan eksekusi keputusan politik, padahal di
masa Orde Baru kiai telah tersingkir karena: (1) adanya kemauan kiai untuk keluar
dari keterpinggiran posisi politiknya, sebagai cerminan dari perjuangannya bagi
kemaslahatan umat; (2) kondusifitas struktur sosial; (3) adanya iklim politik yang
kondusif yaitu peluang berurpa momentum keterbukaan partisipasi politik; dan
(4) dukungan dari jaringan yang dibangun kiai. Kiai melakukan gerakan dengan
mempertimbangkan tiga aspek penting yaitu isu, taktik dan organisasi.
Proses perluasan posisi kiai berlangsung melalui perluasan resources (sumber
kewibawaan) dan instmmen (sarana) yang mereka adopsi dari berbagaijargon dan
praktek gerakan dernokrasi di tingkat nasional yang diselaraskan(melalui montage)
dengan kondisi lokal. Berbagai jargon "baru" tersebut antara lain demokrasi,
penguatan masyarakat, pengembangan masyarakat bawah, anti diskriminasi,
rekonsiliasi, pruralisme, kesetaraan gender, dan lain lain.
xlll
Hasil penelitian menemukan fakta bahwa kiai tidak menjadikan pertimbangan
ideologi dalam melakukan negosiasi dan koalisi. Sebagian kiai juga lebih suka
menggunakan mekanisme non-kepartaian dalam melakukan mobilisasi dan tawar
menawar polrtik. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa para kiai selalu
bersikap hati-hati, luwes (elastis) dan memilih jalan tengah. Cara itu ditempuh para
kiai dengan selalu mengacu kepada pencapaian maslahat (keuntungan-kebaikan) dan
menjauhi ma/isadah (kerugian-kerusakan). Para kiai dalam kenyataanya tidak
menggunakan agama untuk tujuan politik narrun sebaliknya mereka justru
menggunakan politik untuk mencapai tujuan lslam. Dengan demikian maka
tindakan politik mereka pada berbagai arena politik di era transisi demokrasi lebih
cocok disebut elastis (luwes) dari pada oportunistik. Setelah ditelaah lebih jauh,
keterhbatan kiai dalam politik dalam kenyataannya juga membawa dampak negatif,
antara lain berupa (l) perpecahan dalam tlzurriyuh (keluarga besar) kiai; (2)
perpecahan antar kiai, (3) perpecahan antara kiai dengan pengikutnya; (4)
perpecahan antar pengikut NU; (5) tersendatnya kinerja organisasi Nahdlatul Ulama,
dan(6) manipulasi fikih serta Islam.
Penelitian ini memiliki manfaat akademis bagi pengembangan kajian ilmu
sosiologi-politik, khususnya berkenaan dengan teori mengenai gerakan yang
dilakukan oleh para pelaku politik memanf'aat peluang momentum keterbukaan
partisipasi. Hasil penelitian ini menawarkan kajian teori gerakan sebagai hasil
perpaduan teori gerakan Sidney Tarrow (1994), Charles Tilly(1978), dan John
Markoff(1996), dengan memperhatikan tiga aspek, yaitu; (1) faktor detenninan
dalam gerakan, (2)keanekaragaman bentuk peluang bagi berlangsungnya gerakan;
(3)kajian yang mengormati tradisi dan keunikan lokal.
Kata kunci: Kiai, Gerakan, Pemain Politik
xlv
|