Summary: |
ABSTRAK
Pada masa kehidupan Rasulullah SAW segala permasalahan umat dapat
diselesaikan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Lain halnya dengan generasi
ketika beliau telah tiada, tidak semua permasalahan dapat diselesaikan dengan Al-
Qur'an dan As Sunnah saja. Hal ini terjadi karena proses perubahan dan
pembaharuan dalam berbagai bidang, termasuk bidang hukum dan perundangundangan
yang merupakan salah satu institusi penting dalam kehidupan manusia.
Perubahan hukum dan pembaharuan undang-undang termasuk hukum
Islam, merupakan konsekuensi logis dari perubahan norma dan pergeseran nilai
yang te4adi di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang selalu berubah. Dan
hukum Islam atau fiqih Islam yang mempunyai daya elastis memberikan ruang
gerak yang memadai bagi kernungkinan terjadi perubahan hukum kapanpun dan
dimanapun melalui saran ijtihad dalam menyelesaikan berbagai permasalahan
umat.
Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Forum Bahtsul Masail Nahdlatul
Ulama adalah corak lokal fiqh Indonesia yang merupakan hasil ijtihad para ulama
dan kelahirannya untuk merespon sebagian permasalahan umat di atas. Dari
ketentuan hukum baru itu ada yang sepertinya menyimpang dari ketentuan umum,
namun bersifat kompromistis, bahkan ada rumusan hukum seakan-akan
bertentangan dengan nash. Secara historis penyimpangan hukum seperti ini telah
dilakukan para ulama dulu, dengan motivasi terwujudnya kemaslahatan umat.
Penelitian ini mencoba menganalisis model pendekatan istinbath hukum
Islam yang ditetapkan oleh Majelis Tarjih dan Forum Bahtsul Masail tentang
kebolehan perempuan menjadi pemimpin baca presiden. Putusan Tarjih Adabul
Mar'ah fil Islam pada tahun 1972 Mll382 H, Wiradesa, selanjutnya diperkuat
Putusan Tarjih di Garut pada tahun 1976M/1398 H, bahwa perempuan wajib ikut
dalam omar ma'ruf nahi mungkar dalam hal ini masalah kenegaraan dan politik
(badan legislatif dan DPR) tertuang dalam bab VIII dan bab VIII menggambarkan
apresiasi Tarjih terhadap kebolehan perempuan menjadi pemimpin, yang dengan
jelas fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah menyatakan tidak ada dalil yang
merupakan nash pelarangan perempuan menjadi pemimpin. Menjadi pemimpin
merupakan lahan beramal shalih bagi laki-laki dan perempuan Islam. Adapun
firman Allah SWT dalam QS An-Nisa, 4:34 hanya urusan privat rumah tangga,
ayat tersebut dinyatakan tidak mencakup kepemimpinan dalam wilayah publik
dan kemasyarakatan.
Sedang fatwa Forum Bahtsul Masail NU pada tahun 1961 M / l38l H
menolak perempuan menjadi pemimpin sesuai dengan mazhab Syaf i, Maliki,
Hanbali. Adapun Hanafi boleh dalam urusan harta, Ibnu Jarir membolehkan
dalam semua urusan. Selanjutnya Forum Bahtsul Masail pada tahun t997 M I
1418 H, kemudian dikuatkan oleh Keputusan Muktamar NU ke XXX tahun
1999Mll4l5H di Lirboyo Kediri, perempuan memiliki hak yang sama dengan
laki-laki untuk mengabdi pada nusa, bangsa, agam4 bila perempuan tersebut
dipandang mampu dan memiliki kapabilitas untuk menduduki peran sosial dan
Dengan demikian menurut penulis kepemimpinan perempuan
diperbolehkan temyata sangat relevan dengan perubahan sosial. Dan perubahan
serta pembaharuan hukum itu bertujuan untuk merealisasikan kemaslahatan umat
manusia semaksimal mungkin yang merupakan maqasid asy syariah.
Kata kunci: Kepemimpinan, Perempuan, Maqasid asy Syariah
vl
|